Setidaknya,
ada tiga hal penting dan mendasar yang perlu segera diagendakan agar pendidikan
karakter benar-benar bisa diimplementasikan ke dalam institusi pendidikan kita.
Pertama,
membangun keteladanan elite bangsa. Sudah bertahun-tahun lamanya, semenjak
rezim Orba berkuasa, negeri ini telah kehilangan sosok negarawan yang bisa
menjadi teladan dan anutan sosial dalam perilaku hidup sehari-hari. Kaum elite
kita, diakui atau tidak, hanya pintar ngomong di atas mimbar pidato, tetapi
implementasi tindakannya ibarat “jauh panggang dari api”. Mereka ngomong
“berantas korupsi dan mafia hukum”, tetapi realitas yang terjadi justru proses
pembiaran terhadap perilaku-perilaku jahat dan korup. Mereka berteriak “membela
wong cilik”, tetapi kenyataan yang terjadi justru peminggiran peran dan
penggusuran rakyat kecil di mana-mana. Insitusi pendidikan tak akan banyak
maknanya apabila kaum elite kita hanya berada “di atas menara gading
kekuasaan”, miskin keteladanan, dan hanya sibuk bermain akrobat untuk
mempertahankan kekuasaan semata.
Kedua,
memberdayakan guru. Secara jujur harus diakui, profesi guru, semenjak
disahkannya UU Guru dan Dosen, menjadi lebih “bergengsi” dan bermartabat.
Setidak-tidaknya, guru yang dinyatakan sudah lulus sertifikasi sudah bisa
menikmati tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok. Namun, sesungguhnya
bukan hanya semata-mata tingkat kesejahteraan yang dibutuhkan guru, melainkan
juga pemberdayaan dari ranah kompetensi yang selama ini masih menyisakan tanda
tanya. Empat kompetensi –profesional, pedagogik, kepribadian, dan sosial– yang
menjadi syarat wajib bagi guru profesional belum sepenuhnya bisa diimplementasikan
dalam perilaku dan kinerja guru sehari-hari. Belum lagi persoalan perlindungan
dan advokasi terhadap kinerja guru yang dianggap masih lemah, sehingga guru
belum sepenuhnya mampu menjalankan peran dan fungsinya secara optimal. Yang
tidak kalah penting, guru juga perlu terus diberdayakan dalam soal pengembangan
pendidikan karakter lintas-mata pelajaran. Artinya, pendidikan karakter bukan
hanya semata-mata menjadi tanggung jawab guru PKn atau Agama saja, melainkan
juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kinerja guru secara menyeluruh
dan terpadu.
Ketiga, dukungan lingkungan sosial, kultural, dan
religi terhadap keberlangsungan pendidikan karakter dalam dunia pendidikan. Di
tengah situasi peradaban yang makin abai terhadap nilai-nilai akhlak dan budi
pekerti, institusi pendidikan tak bisa sepenuhnya “otonom” dan berjalan sendiri
tanpa “intervensi” lingkungan. Segenap elemen bangsa, mulai tokoh masyarakat,
agama, hingga media, perlu memberikan dukungan penuh dan optimal terhadap
implementasi pendidikan karakter. Media televisi yang selama ini telah menjadi
“tuhan” baru di kalangan anak-anak dan remaja perlu menjalankan fungsinya
sebagai pencerah peradaban dengan memberikan suguhan dan tayangan yang
edukatif. Jangan sampai anak-anak yang tengah “memburu jati diri” dicekoki
dengan tayangan sinetron mistik atau entertaintment yang serba glamor,
hingga membuat anak-anak bangsa di negeri ini makin kehilangan pegangan dan
basis pendidikan karakter dalam hidup dan kehidupannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar